Menonton Broadway, Menyaksikan Mimpi yang Hidup di Atas Panggung

blog_10

GAYA HIDUP

May 04 2025, 09.27

Berkunjung ke kota New York, Amerika Serikat belum lengkap tanpa menonton pertunjukan Broadway. Teater-teater bersejarah yang tersebar di sekitar Times Square adalah pusat dari dunia seni pertunjukan yang selalu hidup dari pagi hingga malam hari.

Setiap hari, lebih dari 30 pertunjukan Broadway berlangsung, dengan dua slot utama: siang (matinée) dan malam. Kapasitas tempat duduk bervariasi, tapi rata-rata teater Broadway memiliki antara 500 hingga 1.900 kursi, tergantung pada ukuran dan sejarah bangunannya.

Beberapa pertunjukan musikal Broadway yang populer dan selalu ramai peminat antara lain The Lion King, Hamilton, Wicked, Moulin Rouge, dan Chicago. Kali ini, Sisiplus  by Katadata akan membagikan pengalaman langsung menonton Chicago di kota yang mendapat julukan city that never sleeps

Chicago: The Musical adalah sebuah pertunjukan legendaris yang telah dipentaskan sejak 1975, dengan musik dan lirik karya John Kander dan Fred Ebb. Berlatar tahun 1920-an, cerita ini mengikuti Roxie Hart, seorang perempuan yang terlibat kasus pembunuhan dan mencoba memanfaatkan ketenarannya untuk lolos dari hukuman. 

Musik jazz yang menggoda, koreografi khas Bob Fosse, dan kritik tajam terhadap budaya selebriti menjadikan Chicago pertunjukan yang tak pernah kehilangan pesonanya.

Pertunjukan ini berlangsung di Ambassador Theatre, yang beralamat di 219 W 49th St, New York, NY 10019. Teater ini adalah salah satu yang paling klasik di Broadway dengan desain interior yang memanjakan mata dan atmosfer yang langsung membawa kita ke era kejayaan teater Amerika.

Sebelum menonton, kami makan malam terlebih dahulu di Junior’s Restaurant & Bakery di 45th Street—sebuah tempat makan legendaris dengan sajian khas Amerika dan suasana New York yang kental. Dindingnya penuh dengan memorabilia basket dan baseball, menciptakan nuansa nostalgia. 

Kami memesan classic tuna sandwich, satu cappuccino, serta dua dessert favorit mereka: cheesecake dan carrot cake. Junior’s memang terkenal karena kue-kue dan roti panggangnya, dan cheesecake mereka disebut-sebut sebagai yang terbaik di New York.

Pukul 19.02 kami tiba di Ambassador Theatre. Antrean belum terlalu panjang dan kami menjadi salah satu yang paling awal dalam antrean. Sepanjang perjalanan dari 45th ke 49th Street, kami melewati berbagai teater lain yang juga sedang dipadati penonton: Smash, Hell’s Kitchen, Buena Vista Social Club, Sadie Sink in John Proctor is the Villain. Antrean yang mengular panjang ada di Moulin Rouge.

Kami berdiri di trotoar bersama para penonton lain, sesekali telinga kami dikejutkan oleh suara sirene ambulans dan mobil NYPD yang lalu lalang. Suara yang mungkin sudah biasa didengar New Yorker setiap hari. 

Sekitar pukul 19.20, pintu teater mulai dibuka. Interior Ambassador Theatre mencerminkan kemegahan era 1920-an dengan lampu gantung klasik, dinding kayu tua dan karpet merah tebal yang membuat atmosfer semakin dramatis.

Kami memesan kursi orchestra, yaitu bagian paling bawah dan paling dekat dengan panggung. Tempat duduk kami berada tepat di center front row, yang bisa memberikan pengalaman menonton yang luar biasa. Selain orchestra, tipe tempat duduk lainnya adalah mezzanine dan balcony, yang memiliki sudut pandang berbeda namun tetap nyaman.

Tiket kami beli lewat aplikasi Klook, yang sudah sering kami pakai untuk memesan tiket pertunjukan di Eropa dan Amerika. Selain Klook, ada juga aplikasi lain di Google, atau bisa menemukan penjual tiket offline di sekitar Times Square. Bekal menonton kami malam itu cukup sederhana: satu bungkus kecil Pringles dan sebotol air mineral, yang dibeli dari penjual keliling di dalam teater, bukan dari bar utama. 

Tak ketinggalan buku panduan pertunjukan Chicago yang juga memuat direktori pertunjukan Broadway lainnya—praktis dan informatif. Pertunjukan dimulai tepat pukul 20.00. Penonton diimbau untuk meredupkan layar ponsel atau mematikannya sama sekali. Jika tidak, cahaya senter akan langsung mengarah kepada penonton melanggar aturan. 

Tirai bertuliskan Chicago perlahan terangkat dan musik mulai mengalun. Ashley Graham, yang memerankan Roxie Hart, tampil memukau di adegan pembuka, langsung disambut tepuk tangan meriah dari seluruh penonton.

Cerita berkembang dengan cepat, dipenuhi dialog tajam, tarian energik, dan musik jazz yang membakar semangat. Kami menyaksikan bagaimana Roxie mencoba memanipulasi media demi mendapatkan simpati publik, dengan bantuan pengacara flamboyan Billy Flynn. Setiap lagu dan koreografi—seperti “Cell Block Tango” dan “All That Jazz”—disajikan dengan energi penuh dan presisi, membuat penonton terpukau sejak awal.

Pertunjukan memasuki jeda istirahat selama 15 menit. Ini waktu yang pas untuk ke kamar mandi, membeli camilan, atau sekadar melihat-lihat merchandise resmi di area lobi. Setelah break, pertunjukan berlanjut hingga pukul 22.00. Tepat setelah tirai turun, para penonton mulai berdiri, sebagian langsung menuju pintu keluar belakang teater -yang kali ini adalah area depan-  stage door. Di sinilah para penggemar menunggu kesempatan bertemu para pemain. 

Tidak ada pengamanan yang berlebihan—hanya satu petugas keamanan dan seorang polisi NYPD yang berjaga. Satu per satu pemain keluar, melayani foto dan tanda tangan. Hanya "Roxy" yang menaiki mobil Cadillac Escalade hitam yang sudah menunggu di depan teater.

Menonton Broadway bukan hanya soal hiburan, tapi pengalaman budaya yang meresap sampai ke hati. Dari suasana jalanan New York yang sibuk, teater-teater megah, hingga penampilan penuh dedikasi di atas panggung—semuanya menyatu jadi kisah tak terlupakan. 

Chicago malam itu mengingatkan kami bahwa seni bukan sekadar tontonan, melainkan cermin yang bisa menggugah pikiran dan emosi. Jika suatu hari Anda berada di New York, jangan lewatkan untuk duduk di salah satu kursi teater Broadway. Mungkin bukan sekadar menonton, tapi menyaksikan mimpi yang hidup di atas panggung.

Penulis : Andikha

Editor : Doddy Rosadi


RELATED ARTICLES AND VIDEOS

Copyright Katadata 2022