Fitur Autoplay di Netflix, Kekuatan Algoritmik yang Bisa Mengatur Penonton
LAINNYA
May 30 2025, 14.51
Bayangkan malam yang sepi, hanya ditemani layar laptop. Satu episode selesai, lalu muncul tombol ‘Next Episode’. Tanpa pikir panjang, jari pun bergerak secara otomatis. Begitulah siklus binge-watching bekerja: secara halus, repetitif, dan sering kali tidak terasa telah memakan waktu berjam-jam.
Di Jakarta, pola menonton seperti ini bukan sekadar tren gaya hidup digital. Bagi generasi muda usia 16 hingga 36 tahun atau Gen Z, Netflix telah berubah menjadi ruang pelarian sekaligus zona afeksi yang akrab. Sejak 2017, jumlah pengguna platform ini di Indonesia melonjak tajam, dari 95 ribu menjadi 5,8 juta pada 2024.
Secara khusus, 72% Gen Z di Jakarta mengaku menonton lebih dari tiga jam dalam satu sesi. Temuan ini juga diperkuat oleh survei daring terbatas yang dilakukan pada April–Mei 2025 terhadap perilaku menonton di kalangan pengguna muda Jakarta, yang mengonfirmasi bahwa binge-watching kini menjadi kebiasaan sehari-hari yang sulit dipisahkan dari rutinitas digital.
Alasannya beragam: dari kebutuhan untuk ‘healing’ setelah hari yang melelahkan, hingga menjaga koneksi sosial di tengah tekanan kota besar. Namun, dampak negatif juga muncul, seperti insomnia, kelelahan mata, serta rasa bersalah karena merasa kehilangan waktu produktif.
Di Balik Zona Nyaman Netflix: Siapa yang Mengendalikan?
Fenomena ini tidak muncul begitu saja. Sistem digital yang dirancang oleh platform memiliki andil besar dalam membentuk kebiasaan menonton. Tombol autoplay, desain antarmuka yang minimal interupsi, serta algoritma personalisasi berfungsi bukan hanya untuk menyajikan konten, tetapi juga mengatur bagaimana, kapan, dan berapa lama seseorang menontonnya. Pengalaman menonton tak lagi hanya soal memilih, melainkan tentang diarahkan untuk terus terlibat.
Studi dari Korea dan India menunjukkan bahwa binge-watching sering kali dipicu oleh kebutuhan akan fleksibilitas, kendali atas waktu luang, dan pencarian pengalaman hiburan yang intim. Namun kenyataannya, kebebasan memilih yang ditawarkan platform seperti Netflix bersifat semu. Fitur-fitur seperti autoplay bekerja sebagai dorongan yang tak terlihat, telah mendorong penonton untuk lanjut tanpa memberi ruang jeda.
Peneliti media digital seperti Tarleton Gillespie menggarisbawahi bahwa algoritma bukan hanya alat seleksi, melainkan mekanisme yang turut mengarahkan cara merespons secara emosional terhadap konten. Satu episode tidak lagi berdiri sendiri; melainkan terikat dalam rantai desain yang mendorong kesinambungan keterlibatan.
Seorang pengguna Netflix di Jakarta menuliskan komentar saat survei, “Awalnya cuma ingin nonton satu episode sebelum tidur. Tapi tahu-tahu sudah jam dua pagi, dan belum bisa berhenti.” Testimoni seperti ini mengungkap cara kerja sistem yang lembut namun persuasif.
Dalam konteks ini, emosi bukan lagi hasil dari alur cerita semata, tetapi juga produk dari desain digital yang disengaja. Inilah yang disebut sebagai bagian dari affective economy, konsep yang dikembangkan oleh Sara Ahmed dan diperluas dalam konteks digital oleh Papacharissi.
Dalam sistem ini, emosi dikapitalisasi menjadi komoditas yang menopang keterlibatan pengguna. Di kota seperti Jakarta, yang dipenuhi tekanan sosial, kemacetan, dan keterbatasan ruang pribadi, pengalaman menonton di platform seperti Netflix menjadi bentuk relaksasi yang diklaim personal, padahal dibentuk oleh logika algoritmik.
Menonton atau Dimanfaatkan? Saat Emosi Menjadi Komoditas
Emosi yang muncul dari pengalaman menonton tidak berhenti setelah layar dimatikan. Perasaan itu cenderung melekat dan mendorong penonton untuk kembali. Ini dikenal sebagai sticky affect, sebuah konsep dari Lindgren (2022) yang menjelaskan bagaimana emosi digital dapat menetap dan menciptakan keterikatan jangka panjang.
Data dari Goodstats menunjukkan bahwa genre horor (28%), komedi (27%), dan drama (17%) merupakan kategori yang paling banyak ditonton oleh pengguna Netflix di Indonesia. Temuan ini konsisten dengan hasil survei daring pada April–Mei 2025, yang memperlihatkan bahwa genre dengan daya rangsang emosional tinggi cenderung menciptakan efek keterikatan yang lebih kuat, terutama pada pengguna yang menonton saat malam hari atau dalam kondisi mental yang sedang rapuh.
Ketiga genre favorit tersebut dinilai efektif dalam membangkitkan emosi intens: tegang, rasa takut, menghibur, dan haru/menyentuh. Emosi ini bukan hanya efek samping dari konten, tetapi menjadi alasan utama bagi platform untuk menyarankannya secara berulang, karena efektivitasnya dalam mempertahankan keterlibatan.
Namun, menyalahkan algoritma sepenuhnya tidak cukup adil. Banyak pengguna menyadari bahwa kendali tetap berada di tangan mereka, meskipun sering kali pilihan untuk berhenti tidak diambil. Ada bentuk kontrak diam-diam antara pengguna dan sistem: kenyamanan ditukar dengan perhatian. Tapi yang perlu dicermati adalah, tidak semua pengguna memiliki posisi yang sama. Mereka yang memiliki literasi digital rendah lebih rentan mengikuti pola tontonan yang telah dipetakan oleh sistem, tanpa menyadari bagaimana pilihan-pilihan itu dikonstruksi secara strategis.
Inilah mengapa affective economy relevan. Dalam kerangka ini, atensi, waktu, dan emosi bukan lagi sumber daya personal, tetapi telah menjadi bahan baku bagi model bisnis berbasis data. Pengguna tidak hanya mengonsumsi, tetapi juga berkontribusi pada sirkulasi nilai melalui keterlibatan emosional yang terus diperpanjang.
Waktunya Literasi Algoritmik
Namun, tidak semua dampak bersifat negatif. Banyak yang merasa bahwa binge-watching bisa menjadi pelarian yang sehat, ruang untuk menenangkan diri, mengeksplorasi identitas, atau menemukan inspirasi. Penelitian dari Steiner dan Xu menunjukkan bahwa penonton streaming masa kini memiliki motivasi aktif yang jauh lebih kompleks daripada sekadar hiburan pasif. Serial menjadi ruang refleksi dan koneksi, terutama di masa pascapandemi yang mengaburkan batas antara ruang publik dan pribadi.
Akan tetapi, romantisasi ini juga menyimpan risiko. Tombol ‘Next Episode’ mungkin tampak seperti fitur praktis, namun sebenarnya merupakan representasi dari desain sistem yang menghitung setiap keputusan, menganalisis pola, dan menyesuaikan rekomendasi untuk memastikan pengguna tetap bertahan.
Literasi digital yang hanya berfokus pada keamanan data tidak lagi cukup. Yang dibutuhkan adalah literasi algoritmik, termasuk pemahaman mendalam tentang bagaimana sistem platform bekerja membentuk kebiasaan, mempengaruhi keputusan, dan mengatur hubungan emosional dalam ruang digital. Tombol yang sederhana itu, dalam realitasnya, adalah simbol dari kekuasaan baru yang diam-diam mengatur hidup sehari-hari.
* Artikel ini merupakan karya Lasmita Nurana, mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia
Musim kedua dari serial televisi horor thriller survival Korea Selatan, Squid Game, dibuat untuk televisi oleh penulis dan produser televisi Korea, Hwang Dong-hyuk.