45% Jurnalis Pernah Mengalami Tindak Kekerasan

blog_10

LAINNYA

Mar 28 2024, 17.31

Keselamatan jurnalis Indonesia masih belum sepenuhnya terjamin. Ancaman terhadap keselamatan jurnalis itu terutama datang dari negara dan organisasi masyarakat (Ormas). Temuan ini didapat melalui pengukuran Indeks Keselamatan Jurnalis yang dilakukan Yayasan Tifa sebagai bagian dari Konsorsium Jurnalisme Aman bersama PPMN dan HRWG berkolaborasi dengan Populix dan didukung oleh Kedutaan Belanda.
 
Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 berada pada skor 59,8 dari 100 atau masuk dalam kategori “Agak Terlindungi.”  Skor ini diantaranya disumbang oleh angka kekerasan yang dialami jurnalis baik yang dihimpun melalui survei maupun dari kasus yang ditangani oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepanjang 2023.  Melalui survei terhadap 536 responden, sebanyak 45% responden mengaku pernah mengalami kekerasan.  Sedang data AJI menunjukkan angka kekerasan terhadap jurnalis mencapai 87 kasus atau naik 16 kasus dari tahun sebelumnya. 
 
Bentuk kekerasan paling banyak berupa pelarangan liputan (45%), pelarangan pemberitaan (44%) dan teror dan intimidasi (39%).  Survei juga mencatat, satu orang jurnalis dapat mengalami beragam bentuk kekerasan dan jurnalis perempuan lebih rentan.    
 
Ancaman terhadap keselamatan jurnalis ini datang dari berbagai pihak. Saat ditanyakan mengenai potensi ancaman keselamatan, jurnalis menyebut mulai dari Ormas (29%), negara melalui polisi (26%) dan pejabat pemerintah (22%), aktor politik (14%)  hingga perusahan media itu sendiri (7%). Sisanya, 4%, menyebut aktor lainnya.    
 
Direktur Eksekutif Yayasan TIFA Oslan Purba mengatakan, indeks ini bertujuan untuk memetakan permasalahan yang dihadapi oleh jurnalis, memberikan data yang relevan untuk mencegah kekerasan, serta meningkatkan kondisi kerja dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia. 
 
“Pengukuran ini diupayakan agar bisa secara regular dan diharapkan bisa menjadi salah satu alat monitoring serta menemukan faktor-faktor masalah keselamatan jurnalis, sehingga menjadi bahan advokasi untuk mewujudkan jurnalisme aman di Indonesia,” jelas Oslan dalam acara peluncuran Indeks Keselamatan Jurnalis 2023, di Jakarta, Kamis (28/3/2024). 
Indeks Keselamatan Jurnalis 2023 diukur melalui metode survei kepada jurnalis dan dipadukan dengan data aktual kasus kekerasan terhadap jurnalis yang ditangani Aliansi Jurnalis Independen (AJI).  Gambaran kondisi keselamatan jurnalis dalam menjalankan profesinya ini disusun berdasarkan tiga pilar utama yang mencakup individu jurnalis, pilar stakeholder media, dan pilar negara dan regulasi.  
 
Pilar individu jurnalis dibangun dari dua variabel yakni pengalaman kekerasan yang dialami jurnalis dan pengetahuan jurnalis akan perlindungan dari kekerasan. Sedang pilar stakeholder media, menggali pengalaman dan pandangan jurnalis terhadap peran perusahaan media, organisasi masyarakat sipil seperti organisasi jurnalis dan lembaga bantuan hukum serta peran lembaga negara seperti Dewan Pers dan Komnas HAM. Sedang Pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi. 
 
Manajer Riset Populix, Nazmi Haddyat Tamara mengatakan, di antara ketiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08) diikuti pilar negara dan regulasi (64,36) dan pilar stakeholder media (74,36). 
 
“Pilar individu mendapat skor rendah, didorong oleh kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” jelas Nazmi.
 
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan untuk melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.
 
“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” jelas Ade.
 
Direktur KBR Media Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya untuk melakukan pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Karena itu, biasanya pelatihan keselamatan terhadap jurnalis dilakukan oleh pihak eksternal.
 
“Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan untuk jurnalis. Ini karena memang perusahaan belum mampu melakukan sendiri tapi memang betul keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ungkap Citra.
 
Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk oleh penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi oleh jurnalis. Umumnya jurnalis menilai UU seperti UU PDP, UU ITE dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja. 
 
Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengungkapkan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan juga pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.

“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan bahwa jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” jelas Uli.

Komnas HAM juga selalu berkoordinasi dengan Dewan Pers apabila menerima laporan terkait pencemaran nama baik yang dilakukan oleh jurnalis.

Penulis : Doddy Rosadi

Editor : Doddy Rosadi


RELATED ARTICLES AND VIDEOS

Copyright Katadata 2022