Agenda Indonesia di COP 29 Dinilai Menjauh dari Keadilan Iklim

blog_10

LAINNYA

Nov 12 2024, 09.00

Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai delegasi Indonesia untuk Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP 29 di Baku, Azerbaijan membawa agenda yang semakin menjauhkan fokus konferensi dari keadilan iklim.Delegasi Indonesia yang dipimpin  Hashim S. Djojohadikusumo mengungkapkan akan melanjutkan komitmen mengatasi perubahan iklim sejak era Presiden Joko Widodo. Hashim juga menawarkan konsep perdagangan karbon melalui mekanisme carbon-capture storage dan upaya reboisasi di tengah-tengah isu food estate
 
Menanggapi pidato Hashim saat membuka Pavillion Indonesia pada Senin 11 November 2024 lalu,  ARUKI yang terdiri atas 30 organisasi masyarakat sipil Indonesia, menyesalkan bahwa dalam pidato pembukaan Hashim tidak menyebutkan realita bahwa tekanan utama dari deforestasi dan kerusakan lingkungan adalah ekspansi industri ekstraktif. Pun, Hashim sama sekali tidak menyinggung peran masyarakat adat dan masyarakat lokal  dalam pidatonya. 
 
“Padahal komitmen untuk melakukan reforestasi harus dibuktikan dengan penghentian ekspansi industri ekstraktif, perluasan food estate, perkebunan dan infrastruktur yang telah ada. Pencabutan izin, hukuman bagi perusak, dan tidak memprioritaskan perubahan kebijakan yang melegalkan kerusakan lingkungan baru,” kata Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul yang juga lead ARUKI. 
 
Ia melanjutkan, korban kerusakan ekosistem dan degradasi adalah masyarakat adat dan masyarakat lokal. Padahal masyarakat adat dan masyarakat lokal mampu dan berilmu pengetahuan memelihara keanekaragaman hayati dan memulihkan lingkungan. 
 
“Komitmen pemulihan ekosistem tidaklah bermakna tanpa agenda pemulihan keadilan, pengembalian dan pemulihan hak masyarakat adat dan lokal (petani, warga pesisir) yang dirampas haknya seiring dengan berjalannya kerusakan lingkungan,” ujar Tory.. 
 
“Hashim luput menyebutkan bahwa Indonesia adalah pulau-pulau kecil, dan persoalan kerusakan lingkungan yang diungkapkan masih “bias darat.“Padahal Indonesia adalah negara kepulauan yang tidak hanya memiliki hutan. Jutaan orang tinggal di wilayah pesisir dan terancam oleh perubahan iklim,” kata Torry. 
 
Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye Walhi Eksekutif Nasional mengatakan, skema perdagangan karbon, khususnya melalui offset dan CCS, secara nyata tidak menjawab akar masalah krisis iklim. “Skema perdagangan karbon hanya menguntungkan korporasi penyumbang emisi gas rumah kaca dan menghambat upaya penghentian penggunaan energi fosil,” katanya di Jakarta. 
 
Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berpendapat, menjaga suhu bumi di bawah 1.5 derajat celcius hanya dapat dilakukan melalui komitmen tegas untuk menghentikan penggunaan energi fosil dan melindungi ekosistem. 
 
Karena itu, pemerintah Indonesia dalam negosiasi program kerja mitigasi dan transisi berkeadilan, harus mendorong komitmen bersama untuk keluar dari energi fosil, melindungi ekosistem dan mempercepat pengembangan energi terbarukan. 
 
“Ini termasuk dengan tidak menggunakan sumber energi dan teknologi yang memperpanjang energi fosil seperti pembangkit co-firing, produksi bioenergi skala besar dan carbon-capture storage atau CCS,” lanjut Syaharani.  
 
“Partisipasi publik yang aktif, termasuk kebebasan berpendapat dan berorganisasi, adalah kunci untuk menghasilkan solusi iklim yang efektif dan adil,” kata Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi YLBHI.
 
ARUKI berpendapat, paling tidak ada lima hal yang harus menjadi fokus delegasi Indonesia. Pertama, pemerintah harus berani berkomitmen dan memimpin agenda pembangunan dan ekonomi yang sejalan dengan target 1,5 derajat Celcius. Kedua, pemerintah harus tegas menyatakan komitmen perlindungan dan pemulihan ekosistem sebagai unsur kunci demi menunjang adaptasi.
 
Ketiga, Indonesia harus mampu menekan negara-negara maju memenuhi janji target pendanaan iklimnya, termasuk meningkatkan pendanaan hibah untuk mitigasi, adaptasi, dan kehilangan dan kerusakan. Keempat, pemerintahan Presiden Prabowo harus mampu mendorong agenda redistribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya demi keadilan yang menjadi syarat ketahanan iklim rakyat.
 
Kelima, pemerintah harus melindungi kelompok rentan dan memastikan keterlibatan bermakna dari masyarakat. Hal ini termasuk melibatkan perempuan, orang muda, masyarakat adat, petani gurem, nelayan kecil dan tradisional, buruh, kelompok disabilitas, dan masyarakat rentan lain dalam mitigasi dan adaptasi.

Penulis : Doddy Rosadi

Editor : Doddy Rosadi


RELATED ARTICLES AND VIDEOS

Generic placeholder image

Jelang COP 29, Indonesia Perlu Kunci Target Emisi dan Dana Iklim Pemerintahan Baru

LAINNYA

Nov 08 2024, 20.34

Kebutuhan pendanaan iklim global setiap tahunnya hingga 2030 mencapai US$ 8 triliun.


Generic placeholder image

IBC Dorong Penguatan Ekosistem Pasar Karbon di Dalam Negeri

EKONOMI & BISNIS

Aug 09 2024, 07.56

Bursa perdagangan karbon memegang peranan penting untuk menginsentif peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam negeri menuju 8 persen.


Generic placeholder image

Indonesia Hadapi Tantangan Perubahan Iklim Melalui Pemanfaatan Energi Panas Bumi

LAINNYA

Jul 11 2024, 07.41

Transisi energi menuju energi terbarukan juga telah muncul sebagai solusi penting dalam menghadapi tantangan global yang mendesak.


Generic placeholder image

Program K3 Nasional dan Budaya K3 Penting untuk Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

LAINNYA

Apr 25 2024, 14.06

Perubahan iklim tidak berdiri sendiri dan bisa memengaruhi pekerja dan juga bisnis.


Generic placeholder image

Kondisi Hutan Hujan Amazon di Brasil Mendekati Titik Kritis

LAINNYA

Feb 15 2024, 18.21

47 persen luas hutan hujan Amazon terancam kekeringan dan kebakaran.


Copyright Katadata 2022