Ketika Kampanye Hijau Tersingkir dari Linimasa karena Dianggap Tidak Ramah Lingkungan
GAYA HIDUP
Jun 04 2025, 21.26
Setiap tahun, Hari Bumi (22 April) dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni) menjadi ajang pamer hijau di dunia digital. Brand besar, organisasi, hingga selebritas berlomba menampilkan kepedulian mereka lewat visual estetik: dari video daur ulang, filter Instagram berisi daun, hingga tantangan tanpa plastik. Sekilas, dunia tampak semakin sadar lingkungan. Tapi kesadaran itu sering kali hanya bersifat permukaan.
Banyak kampanye hijau yang beredar di linimasa lebih fokus pada estetika dan emosi ketimbang substansi ekologis. Studi oleh Jewitt et al (2016) menunjukkan bahwa kampanye visual cenderung mengutamakan bentuk visual yang menarik secara estetis, meski kerap mengaburkan isu struktural yang mendalam. Dalam ruang digital seperti ini, keberhasilan sebuah pesan sering kali bergantung pada tampilannya, bukan dampaknya.
Ditambah lagi, logika algoritma media sosial tidak bekerja secara netral. Riset T. Bucher (2018) mengungkap bagaimana sistem algoritmik justru memprioritaskan konten yang ringan, positif, dan menyentuh emosi. Pesan kritikal, penuh data, dan menantang status quo dianggap ‘tidak ramah algoritma’, dan akibatnya, tersingkir dari linimasa.
Ini berdampak serius pada komunikasi lingkungan. Kampanye yang semestinya menggugah kesadaran kolektif dan menyoroti akar masalah justru tenggelam di balik konten yang menyenangkan dan mudah dikonsumsi. Visibilitas menjadi komoditas utama: siapa yang tampil, itulah pemenangnya. Sering kali, yang tampil bukanlah yang paling penting untuk didengar.
Dari Sertifikasi ke Realita: Ekowisata Bali dan Tantangan di Baliknya
Di tengah banjir konten bertema hijau yang viral di media sosial, ada gerakan-gerakan lokal yang justru bekerja dalam diam, dan fokus pada aksi daripada estetika. Salah satunya datang dari Bali, lewat program Eco Climate Badge. Inisiatif ini memberi pengakuan kepada hotel dan restoran yang benar-benar menjalankan praktik ramah lingkungan, mulai dari pengelolaan air, efisiensi energi, hingga pemberdayaan warga sekitar. Bukan sekadar label hijau di brosur, tapi hasil penilaian nyata yang merujuk pada standar internasional seperti Global Sustainable Tourism Council (GSTC) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Pada gelaran Eco Tourism Week 2025, sebanyak 21 hotel dan restoran mendapat badge ini. Acara itu juga menampilkan karya seniman Ririn Yaxley, sebuah pameran seni dari limbah industri hotel yang disulap jadi instalasi visual penuh makna. Lewat karya ini, publik diajak merenung: bisa jadi, pesan tentang lingkungan justru lebih mengena saat disampaikan lewat seni yang jujur dan emosional, bukan sekadar foto resort dengan caption #SustainableGetaway.
Di era algoritma, emosi menjadi bahan bakar utama. Kampanye yang membangkitkan rasa nyaman dan harapan cenderung lebih disukai mesin distribusi, dibandingkan pesan yang memunculkan rasa bersalah atau ajakan berpikir kritis. Saat visual menjadi mata uang utama, justru penting untuk bertanya: apakah yang kita lihat benar-benar perubahan, atau hanya ilusi dari citra yang dikurasi?
Akibatnya, muncul fenomena green illusion, di mana keberlanjutan hanya terlihat, tapi tidak benar-benar terjadi. Kampanye yang tampil dominan justru yang paling minim keberanian struktural. Kritik terhadap industri plastik, perubahan iklim, atau kerusakan lingkungan sering disingkirkan karena dianggap tidak ‘kompatibel’ dengan logika platform.
Laporan We Are Social tahun 2025 mencatat bahwa konten visual kampanye hijau dengan tone positif mencetak engagement tertinggi sepanjang Hari Bumi. Tambahan lagi, survei Databoks menunjukkan bahwa 78% Gen Z Indonesia peduli terhadap isu keberlanjutan tanpa aksi nyata. Kaum muda kini mulai melihat celah antara citra digital dan realitas ekologis.
Artinya, publik tidak lagi semudah itu diyakinkan oleh warna hijau dan hashtag yang menarik. Namun sayangnya, sistem distribusi digital belum mengejar kesadaran tersebut. Yang tampil tetap mereka yang punya sumber daya untuk menyusun narasi dan visual yang sesuai selera algoritma, bukan yang punya pesan paling penting untuk masa depan bumi.
Figur seperti Nicolas Saputra menjadi menarik karena tampil berbeda. Ia jarang berbicara, tidak memamerkan gaya hidup, dan dalam postingannya, justru memilih diam, berjalan perlahan di tengah hutan, atau membiarkan suara air mendominasi layar. Analisis konten yang dilakukan oleh Saputra & Adellia (2022) menunjukkan bahwa pendekatan ini, yang tidak langsung, tidak eksplisit, dan tidak menjual produk, lebih dipercaya karena tidak terasa memaksa.
Namun, bahkan representasi yang tampak personal seperti ini tetap diuntungkan oleh algoritma. Estetika tenang, gestur reflektif, dan suara alam adalah elemen yang justru sangat sesuai dengan selera distribusi digital saat ini. Maka, pesan lingkungan bisa saja terlihat otentik, tetapi tetap terjebak dalam logika sistem yang hanya menampilkan yang "layak viral".
Kampanye yang Layak Viral, Malah Tak Terlihat
Greenwashing bukan hanya masalah pemasaran; melainkan masalah komunikasi struktural. Ketika algoritma dan kapitalisme platform lebih peduli pada klik daripada perubahan, maka pesan lingkungan yang kritikal akan selalu tenggelam oleh citra yang menyenangkan.
Sudah saatnya bertanya: apa yang tidak muncul di linimasa hari ini, dan siapa yang mengatur agar itu tetap tak terlihat?
Karena sering kali, kampanye yang paling layak viral justru tersembunyi, bukan karena tak penting, tapi karena tidak algoritmis. Pesan lingkungan yang paling nyaring belum tentu yang paling berdampak. Dalam dunia yang dikendalikan algoritma, yang viral belum tentu yang vital. Dan di tengah kebisingan citra, ada yang diam-diam dikorbankan demi menjaga narasi hijau tetap tampak menarik.
Artikel ini merupakan karya Lasmita Nurana, mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi UI