Penelitian Baru Menemukan Kaitan antara Kadar Kolin dan Gangguan Kecemasan
GAYA HIDUP
Dec 15 2025, 05.31
Selama ini kecemasan kerap dipahami sebagai persoalan pikiran dan pengalaman hidup. Namun riset terbaru menunjukkan, jawabannya mungkin juga tersembunyi dalam metabolisme otak dan nutrisi yang selama ini luput diperhatikan. Salah satu nutrisi yang kembali menjadi sorotan adalah Kolin.
Sejumlah peneliti dari University of California, Davis (UC Davis), Amerika Serikat, baru-baru ini menelaah hubungan antara kadar Kolin di otak dan gangguan kecemasan. Riset ini dipimpin oleh Richard Maddock, profesor riset di Departemen Psikiatri dan Ilmu Perilaku UC Davis, bersama timnya yang berfokus pada pencitraan otak dan neurokimia.
Alih-alih melakukan eksperimen baru, para peneliti memilih pendekatan analisis gabungan (meta-analisis) dengan mengulas data dari 25 studi pencitraan otak sebelumnya. Total lebih dari 700 partisipan terlibat dalam data tersebut, terdiri dari individu dengan berbagai jenis gangguan kecemasan serta kelompok pembanding tanpa kecemasan. Semua data dikumpulkan menggunakan teknik MRI non-invasif yang mampu mengukur senyawa kimia tertentu di dalam otak.
Dari analisis tersebut, muncul satu pola yang relatif konsisten. Individu dengan gangguan kecemasan, termasuk gangguan kecemasan menyeluruh dan gangguan panik, cenderung memiliki kadar Kolin yang lebih rendah di beberapa wilayah otak. Area-area ini dikenal berperan dalam pengaturan emosi, pengambilan keputusan, serta respons terhadap stres.
Perbedaannya memang tidak besar secara angka rata-rata sekitar delapan persen namun muncul berulang di wilayah otak yang sama. Dalam konteks neurokimia, perubahan kecil semacam ini dinilai cukup bermakna karena berkaitan dengan keseimbangan kerja sel-sel saraf.
Kolin sendiri merupakan nutrisi esensial yang dibutuhkan tubuh untuk membentuk membran sel, memproduksi neurotransmitter, serta menjaga komunikasi antarsel otak. Zat ini banyak ditemukan dalam produk atau makanan sehari-hari seperti telur, ikan, daging, ayam, dan kacang-kacangan. Meski tubuh manusia dapat memproduksi kolin secara alami, jumlahnya terbatas sehingga asupan dari makanan tetap menjadi faktor penting.
"Penelitian ini menarik, tetapi masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan. Kolin adalah nutrisi yang penting, tetapi kita perlu lebih banyak penelitian untuk memahami bagaimana kolin berinteraksi dengan gangguan kecemasan,” ujar salah satu peneliti.
Para peneliti UC Davis kembali menekankan bahwa temuan ini tidak bisa dibaca secara sederhana sebagai “kekurangan kolin menyebabkan kecemasan”. Justru, mereka mengajukan hipotesis sebaliknya. Pada kondisi kecemasan kronis, otak berada dalam keadaan siaga yang berkepanjangan. Respons stres yang terus aktif ini diduga meningkatkan kebutuhan kolin, sehingga cadangannya di otak perlahan menurun terutama di area yang bertugas mengelola stres dan emosi.
Dengan sudut pandang tersebut, rendahnya kadar kolin lebih tepat dipahami sebagai penanda adanya tekanan metabolik di otak, bukan sebagai penyebab tunggal gangguan kecemasan. Meski tidak diposisikan sebagai solusi langsung bagi kecemasan, kolin dinilai tetap memiliki peran dalam menjaga proses biologis otak yang terlibat dalam regulasi emosi dan respons terhadap stres. Artinya, perubahan nutrisi ini bisa mencerminkan bagaimana otak bekerja lebih keras untuk menghadapi stres jangka panjang.
Pandangan ini sejalan dengan kehati-hatian para klinisi. Gangguan kecemasan dikenal sebagai kondisi yang kompleks. Faktor genetik, pengalaman hidup, lingkungan sosial, serta keseimbangan kimia otak saling berinteraksi membentuk kondisi kesehatan mental seseorang. Nutrisi, termasuk kolin, hanyalah satu bagian dari sistem yang jauh lebih besar.
Karena itu, para ahli tidak merekomendasikan langkah instan seperti mengonsumsi suplemen kolin dalam dosis tinggi. Hingga kini, belum ada bukti klinis yang cukup kuat bahwa suplementasi kolin dapat mengurangi kecemasan secara langsung. Bahkan, konsumsi berlebihan berpotensi menimbulkan efek samping jika tidak diawasi tenaga kesehatan.