Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Dukung Agenda Masyarakat Adat di COP 16 CBD

blog_10

LAINNYA

Oct 24 2024, 09.54

Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia yang hadir di Conference of the Parties (COP) to the Convention on Biological Diversity (COP 16 CBD) di Cali, Kolombia menyerukan kepada delegasi Pemerintah Indonesia yang sedang berunding serta komunitas global untuk mendukung agenda terkait hak-hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IP&LC).
 
Penghormatan terhadap hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal menempati peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu. 
 
Pada COP 16 CBD, Masyarakat Adat mendorong negara-negara yang hadir untuk memastikan pengakuan penuh atas kontribusi Masyarakat Adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia, serta mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen (Subsidiary Body) yang mengikat khusus Article 8j terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati. 
 
Namun,, perwakilan delegasi Indonesia justru menolak pendirian Subsidiary Body tersebut. Padahal, kontribusi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal untuk mencapai target KM-GBF sangat besar.
 
“Penolakan delegasi Indonesia terhadap pembentukan Subsidiary Body pada Article 8j tentang Pengetahuan, Inovasi, dan Praktik-Praktik Tradisional adalah sebuah kemunduran. Pembicaraan terkait upaya mempermanenkan Working Group on Article 8j sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu untuk memastikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional. Juga, inovasi dan praktik yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya genetik. Pasca komitmen KM-GBF, adanya kerangka kerja dan pembentukan Subsidiary Body dapat memastikan terukur dan terjaminnya dimensi keadilan dan sosial dari implementasi KM-GBF,” ungkap Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia Cindy Julianty dari WGII .
 
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menambahkan, saat ini wilayah adat di Indonesia yang telah terpetakan sudah mencapai 30,1 juta hektar. Namun, baru 16% dari wilayah tersebut yang telah diakui secara hukum. 
 
“Menjamin hak penguasaan tanah masyarakat adat adalah hal yang terpenting jika kita ingin melindungi keanekaragaman hayati yang masih tersisa,” kata Kasmita. 
 
Menjamin dan melindungi wilayah masyarakat adat dan kawasan konservasi akan membantu Indonesia mencapai target 30x30 (perlindungan 30% area keanekaragaman hayati di daratan dan lautan pada tahun 2030). Menurut data terbaru dari WGII, terdapat lebih dari 22 juta hektare lahan yang masyarakat Indonesia kelola dan lindungi dengan pengetahuan tradisional, yang dapat berkontribusi untuk mencapai tujuan konservasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM GBF).
 
Saat ini, keanekaragaman hayati Indonesia terancam oleh aktivitas industri-industri ekstraktif seperti pertambangan, eksploitasi dan penebangan hutan, pertanian skala besar, dan berbagai proyek strategis nasional. Izin-izin ekstraktif di Indonesia telah menguasai lebih dari 100 juta hektare daratan dan lautan di Indonesia (55,5 juta hektare di daratan dan 45,4 juta hektare di lautan). 
 
Hadirnya industri-industri, yang juga didorong permintaan dan kebutuhan global seperti batu bara, minyak sawit, kayu, dan nikel, telah menyebabkan deforestasi besar-besaran dan kerusakan habitat. 
 
Pidato Presiden Prabowo dalam pelantikannya pada 20 Oktober lalu telah menargetkan swasembada pangan dalam 4-5 tahun dengan mengandalkan food estate. Saat ini sedang berlangsung pengembangan program food estate di beberapa provinsi, di antaranya di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Papua Selatan dengan target luas lebih dari 2 juta hektare. Program food estate tersebut telah mengakibatkan kehancuran ekosistem keanekaragaman hayati dan wilayah adat, budaya serta kearifan lokal masyarakat adat.  
 
Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia menyatakan komitmen terhadap perlindungan keanekaragaman hayati harus ditunjukkan dengan aksi nyata mengurangi secara signifikan aktivitas-aktivitas industri ekstraktif yang membahayakan keanekaragaman hayati di Indonesia seperti nikel, sawit, food estate, HPH, HTI, Pertambangan, dan lain sebagainya.
 
 “Saat ini, ada lebih dari 1 juta hektare industri ekstraktif di kawasan konservasi. Selain itu, ada juga 20,5 juta hektar industri ekstraktif berada dalam area ekosistem penting seperti koridor satwa, taman kehati, dan area biodiversitas penting,” tambah Ogy.
 
Keanekaragaman hayati laut Indonesia juga perlu segera dilindungi. Saat ini, jutaan hektare wilayah laut Indonesia dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat pesisir. Hal ini berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan pencapaian (Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP), khususnya dalam upaya melindungi 30% area laut Indonesia. 
 
“Dalam agenda Keanekaragaman Hayati Laut dan Pesisir serta Pulau-Pulau, Indonesia perlu mendukung teks yang memastikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan dan informasi, serta perlindungan bagi pembela hak asasi manusia dan lingkungan, masyarakat adat, dan komunitas lokal, dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia,” jelas Rayhan Dudayev dari Greenpeace. 

Penulis : Doddy Rosadi

Editor : Doddy Rosadi


RELATED ARTICLES AND VIDEOS

Copyright Katadata 2022