Kesehatan anak menjadi prioritas utama bagi setiap orang tua. Salah satu upaya memberikan proteksi kesehatan kepada anak adalah dengan memberikan mereka imunisasi sejak baru lahir. Dengan imunisasi, dapat mencegah terjadinya risiko penularan penyakit berbahaya.
Tenaga kesehatan kerap mengingatkan orang tua dan keluarga tentang jadwal kunjungan anak ke Puskesmas atau Posyandu agar anak bisa mendapatkan imunisasi sesuai jadwal yang direkomendasikan. Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk memastikan terpenuhinya hak-hak anak untuk tumbuh sehat, bebas dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Namun demikian, sayangnya, masih banyak anak Indonesia yang tidak mendapat imunisasi lengkap karena orang tua takut akan desas-desus berbagai mitos keliru mengenai efek imunisasi.
Dilansir dari laman United Nations Children's Fund (UNICEF), berikut adalah tujuh risiko yang dapat dialami anak, keluarga, dan lingkungannya apabila kebutuhan imunisasi tidak terpenuhi tepat waktu.
1. Anak lebih rentan mengalami sakit berat
Anak yang tidak menerima imunisasi lengkap dan tepat waktu akan lebih rentan mengalami berbagai penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi. Seperti hepatitis, TBC, batuk rejan, dan difteri. Selain itu, anak yang tidak diimunisasi juga lebih rentan terhadap masalah kesehatan lain. Contohnya ketika anak terkena campak, sering mengalami komplikasi seperti diare, pneumonia, kebutaan, dan malnutrisi.
2. Kemungkinan anggota keluarga lain turut sakit berat menjadi lebih tinggi
Anak yang sedang sakit dan tidak menerima imunisasi lebih berisiko menulari orang lain di sekitarnya. Begitu pula sebaliknya, anak yang tidak diimunisasi lebih berisiko tertular penyakit. Setiap kali seseorang sakit, maka anak, atau cucu dan orang tua, juga berisiko terkena.
Orang dewasa merupakan sumber infeksi utama pertusis (batuk rejan) pada balita, penyakit ini bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi. Imunisasi tidak hanya melindungi diri anak, tetapi juga orang tua dan anggota keluarga lain serta orang-orang di lingkungan sekitar yang mungkin kesulitan mendapatkan akses vaksinasi.
Orang dewasa pun tetap mungkin tertular penyakit dan mengalami gejala yang ringan namun dengan komplikasi yang fatal. Ibu hamil yang tertular virus rubella, misalnya, amat berisiko melahirkan anak dengan berbagai bentuk komplikasi bawaan, disebut dengan sindrom rubella kongenital (SRK). Sementara itu, ibu hamil yang tertular virus campak berisiko mengalami keguguran.
3. Ikut menyebarkan wabah penyakit di lingkungan
Kasus-kasus penyakit menular di kalangan kelompok rentan dapat berkembang luas menjadi wabah di masyarakat. Untuk alasan inilah, pemerintah saat ini masih memberikan imunisasi polio kepada anak. Jika jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi bertambah banyak, maka penyakit yang selama bertahun-tahun berhasil dicegah dapat kembali mewabah.
4. Sakit dan komplikasi penyakit menimbulkan biaya tinggi untuk pengobatan dan perawatan
Suatu penyakit tidak hanya berdampak langsung terhadap penderita dan keluarganya, tetapi juga terhadap masyarakat secara keseluruhan. Kejadian sakit dan komplikasi penyakit dapat membutuhkan biaya tinggi dan perawatan yang memakan waktu.
Pasien difteri, misalnya, membutuhkan rawat inap segera di fasilitas kesehatan yang mampu menangani penyakit ini beserta komplikasi-komplikasinya. Pasien akan ditempatkan di ruang isolasi dan diberikan obat-obatan khusus.
Kemudian, penyakit campak rata-rata memerlukan hingga 15 hari perawatan, termasuk rata-rata kehilangan lima atau enam hari kerja atau sekolah bagi karyawan atau pelajar. Lalu, orang dewasa yang terkena hepatitis rata-rata tidak bisa bekerja selama satu bulan. Dalam hal bayi yang terlahir dengan SRK, ia akan membutuhkan pengobatan seumur hidup dan bantuan serta terapi medis yang berbiaya tinggi.
5. Penurunan kualitas hidup
Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi memiliki risiko komplikasi yang mengakibatkan disabilitas tetap. Contohnya, campak yang dapat menyebabkan kebutaan. Ada pula kelumpuhan sebagai gejala terberat yang dikaitkan dengan polio karena dapat menimbulkan disabilitas permanen dan kematian.
6. Risiko penurunan harapan hidup
Vaksinasi yang tidak lengkap menyumbang kepada penurunan angka harapan hidup. Sebaliknya, imunisasi lengkap hingga anak berusia lima tahun dapat meningkatkan angka harapan hidup. Data menunjukkan bahwa anak yang tidak menerima imunisasi lengkap lebih mungkin tertular berbagai penyakit saat masih kanak-kanak, sehingga angka harapan hidupnya pun menurun.
Di Papua Barat, dari tahun 2010 ke tahun 2017, angka harapan hidup meningkat berkat peran penting dari peningkatan jumlah anak yang mendapatkan imunisasi lengkap.
Di Brasil, antara tahun 1940 dan 1998, angka harapan hidup saat lahir naik sekitar 30 tahun. Hal ini utamanya disebabkan oleh menurunnya angka kematian akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi.
7. Batasan perjalanan dan bersekolah
Beberapa negara mensyaratkan imunisasi lengkap bagi warga asing yang hendak berkunjung. Jika tidak diimunisasi, anak dapat kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di negara-negara ini.
Selain itu, sudah semakin banyak sekolah yang mencantumkan ‘imunisasi lengkap’ sebagai syarat pendaftaran. Tujuannya adalah agar semua anak dan warga sekolah terlindung dari penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin dan dengan demikian anak dapat menikmati hak belajarnya secara penuh di sekolah.
Wanita mengalami kehilangan harapan hidup lebih besar daripada pria, dan efeknya lebih signifikan pada mereka yang mengalami gangguan fungsi jantung setelah serangan jantung.