Fenomena Rekam Dulu Minta Izin Belakangan, Apakah Kita Sedang Kehilangan Empati?

blog_10

GAYA HIDUP

Nov 26 2025, 11.05

Rasanya hampir setiap hari kita melihat video viral baru di media sosial. Orang sedang makan, orang berdebat, orang jatuh dari motor, hingga seseorang yang sekadar berolahraga di trotoar. Semua diambil diam-diam lalu diunggah dengan cepat, seolah wajah dan aktivitas orang lain bisa menjadi konten gratis untuk hiburan publik. Fenomena ini memang terlihat sepele, tetapi sebenarnya menggambarkan masalah yang jauh lebih serius, hak privasi di ruang publik yang semakin kabur.

Teknologi membuat siapa pun bisa menjadi “content creator.” Kamera selalu siap merekam, dan tombol “upload” hanya sejauh satu senti. Namun di tengah kemudahan itu, banyak orang lupa bahwa yang mereka rekam belum tentu sebuah objek hiburan. Mereka punya hak, perasaan, dan kehidupan yang tidak seharusnya diumbar tanpa persetujuan. Masalah muncul ketika keinginan mendapat perhatian. Like, view, komentar, lebih besar daripada pertimbangan moral. Viral sering dianggap lebih penting daripada menjaga martabat orang lain.

Salah satu contoh yang pernah menyita perhatian saya, beberapa waktu lalu, sebuah video pasangan suami-istri yang sedang bertengkar di restoran viral di media sosial. Si perekam merekam dari jarak dekat tanpa izin, lalu menyebarkannya. Komentar netizen membludak, sebagian besar menghina dan menghakimi pasangan tersebut. Padahal mereka hanya sedang berada di ruang publik dan sedang tidak ingin dipertontonkan. Kasus seperti ini bukan satu-dua kali terjadi dan menyita perhatian saya. Ada seseorang sedang makan sendirian lalu dijadikan bahan olok-olokan. Ada juga orang asing yang sedang olahraga, kemudian tubuhnya dijadikan fokus konten tanpa persetujuan. Dalam semua contoh itu, satu hal yang sama, privasi dilanggar tanpa rasa bersalah.

Secara etika, merekam orang tanpa izin, terutama dalam situasi rentan, adalah bentuk ketidakpedulian. Hanya karena seseorang berada di tempat umum bukan berarti hidupnya otomatis menjadi konsumsi publik. Etika komunikasi menekankan satu prinsip sederhana, apa yang kita lakukan kepada orang lain, bayangkan jika itu terjadi pada diri sendiri. Jika kita tidak ingin wajah kita menjadi bahan gunjingan, mengapa melakukan hal yang sama pada orang lain?

Dalam filsafat, terutama pemikiran John Stuart Mill, kebebasan seseorang hanya sah dijalankan selama tidak merugikan orang lain. Ketika rekaman itu menyebar dan berdampak buruk, malu, stigma, reputasi rusak maka kebebasan merekam tidak lagi bisa dibenarkan. Privasi bukan soal tempat, tapi soal kontrol seseorang atas bagaimana dirinya ditampilkan di hadapan orang lain. Banyak orang mengira bahwa “di ruang publik itu bebas direkam”. Nyatanya tidak sesederhana itu.

Dari sisi hukum, privasi tetap dilindungi meski seseorang berada di tempat umum. Undang-Undang ITE: Pasal 27 ayat (3), melarang penyebaran konten yang dapat merugikan atau mencemarkan nama baik seseorang. Begitu pula UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014: Pasal 12 ayat (1), yang mengatur penggunaan potret pribadi. Selain itu, UUD 1945: Pasal 28G ayat (1), menjamin hak atas perlindungan diri dan martabat setiap warga negara. Hal Ini menunjukkan bahwa rekaman tanpa izin sangat melanggar hukum dan dapat dipidana.

Maka dari itu sebelum menekan tombol “rekam”, kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah tindakan ini bermanfaat atau justru merugikan? Apakah orang yang direkam menyetujuinya? Apa dampaknya ketika video ini menyebar? Pertanyaan sederhana seperti ini dapat mencegah banyak masalah. Kalau tiga pertanyaan itu saja tidak bisa dijawab dengan nyaman, mungkin ponsel memang lebih baik diturunkan.

Privasi di ruang publik adalah isu yang rumit dan semakin terancam, bukan karena teknologi semakin canggih, tetapi karena empati yang semakin tipis. Kita tidak bisa menghentikan teknologi, tetapi kita bisa memilih bagaimana menggunakannya. Ruang publik tetaplah ruang untuk bersama, bukan tempat di mana siapa pun bebas menjadikan orang lain sebagai konten. Jika setiap orang mulai menghargai privasi orang lain, meski sekadar tidak menekan tombol “rekam”, ruang publik akan menjadi tempat yang lebih aman, nyaman, dan manusiawi. Bermedia sosial lah dengan bijak. Tidak semua hal harus diviralkan. Tidak semua momen layak dipertontonkan. Dan tidak semua orang ingin hidupnya dipajang di layar ponsel orang lain.
 
Artikel ini ditulis oleh M. Rizky, mahasiswa Institut STIAMI

Penulis : Doddy Rosadi

Editor : Doddy Rosadi


RELATED ARTICLES AND VIDEOS

Generic placeholder image

Hati-Hati Flexing, Bisa Jadi Sasaran Kejahatan

LAINNYA

Apr 13 2023, 03.55

Salah satu cara untuk menghindari dan mengatasi flexing adalah dengan memiliki batasan diri dalam berinteraksi di media sosial.


Copyright Katadata 2022