Dirjen Kemenkominfo Beri Bocoran Usulan Pemerintah dalam Tata Kelola AI
TEKNOLOGI DIGITAL
Jun 14 2024, 11.04
Penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelegence/AI) dalam menunjang pekerjan humas memang bermanfaat terutama dalam pekerjaan skala besar. Namun, pemerintah tetap perlu mengatur tata kelola etika penggunaan AI agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Hal ini dikatakan oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong, dalam acara Road to WPRF 2024 dengan tema ’Big Data Optimization & AI for Data-Driven PR Strategy’, Rabu (11/6) di Djakarta Theater, Jakarta Pusat.
Usman mengatakan tata kelola ini nantinya akan mencakup akuntabilitas, regulasi serta compliance dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas layanan pada masyarakat.
"Penggunaan AI baik di pemerintahan maupun non pemerintahan harus memperhatikan tata Kelola terkait dengan akuntabilitas, regulasi dan harus compliance serta etika yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pada masyarakat apalagi PR tentu tujuan akhirnya melayani masyarakat," terangnya.
Rancangan tata kelola dan etika penggunaan AI ini, kata Usman, juga bertujuan untuk memitigasi risiko adanya tuntutan hak cipta dan memastikan penggunaannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa depan.
"Jadi dengan memperhatikan hak cipta atau copyright kita memitigasi risiko tuntutan pemilik hak cipta itu," ujarnya.
Usman pun mencontohkan, beberapa waktu lalu media asal Amerika Serikat New York Times menuntut Open AI dan Microsoft lantaran kedua perusahaan pembuat AI ini mencuri berita-berita yang sebelumnya telah dipublikasikan di New York Time.
"Nah itu tujuan kita menyusun tata kelola adalah mengurangi terjadinya risiko di kemudian hari," tambahnya.
Adapun, pemerintah memiliki tiga usulan dalam menyusun tata kelola dan etika global penggunaan AI. Pertama, adalah policy. Ia mengatakan bagaimana kebijakan yang dibuat harus memperhatikan unsur keamanan, keadilan dan inklusivitas dalam pengembangan AI di dalam negeri.
Kedua, adalah platform. Usman mengatakan penggunaan platform komunikasi harus inklusif bagi pemangku kepentingan multilateral untuk berkomunikasi terkait risiko dan mitigasi perkembangan AI.
"Jadi kalau di media sosial, UU ITE mewajibkan medsos melakukan klasifikasi, verifikasi dan menyediakan pelaporan. Jadi platform (AI juga) harus menyediakan ruang untuk mitigasi risiko," tutur dia.
Ketiga adalah people. Dia mengatakan, tindakan pemerintah harus mengarah pada pendekatan yang lebih inklusif atau human center.
"Jadi jangan sampai AI itu menggantikan manusia. Paling tidak menciptakan budaya rebahan atau instant culture. Sudah dicontohkan tadi, jaman dulu kita harus cari koran, gunting, tempel sekarang tinggal rebahan saja bisa. Itu yang harus kita mitigasi jangan sampai manusia tergantikan robot/AI," jelasnya.
Sementara itu, Usman juga mendorong adanya pendekatan horizontal terkait implementasi tata kelola penggunaan AI. Dia mengatakan Kemenkominfo telah membuat surat edaran berupa pedoman penggunaan AI di tiap instansi.
"Kita mendorong Perhumas, mitra humas, dewan pers dan perguruan tinggi untuk menyusun penggunaan AI di instansi masing-masing. Jadi kita dorong berupa kebijakan. Misalnya UU ada UU ITE dan PDP. Ini juga mengatur AI memang tetapi kita perlu yang khusus mengatur AI seperti di Eropa," pungkasnya.