Tiga Budaya Bahari di Jawa Timur yang Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia
LAINNYA
Feb 13 2025, 21.13
Jawa Timur salah satu provinsi di Indonesia ini memiliki beragam budaya dan tradisi unik yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI), mulai dari tarian adat, upacara adat, makanan khas, hingga permainan tradisional. Kini ada tiga budaya bahari di Jawa Timur yang juga ditetapkan sebagai WBTbI, sebagaimana dilansir dari media sosial resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
Beberapa daerah di Jawa Timur memiliki wilayah laut yang luas, yang selanjutnya dijadikan sebagai wisata bahari untuk melestarikan nilai-nilai budaya, serta tradisi yang masih dipegang erat oleh masyarakat setempat, dan berikut ini ulasan lengkapnya.
1. Larung Sembonyo (Kabupaten Trenggalek)
Ditetapkan sebagai WBTbI tahun 2015, Larung Sembonyo dilaksanakan pada bulan Selo yang jatuh pada hari pasaran Kliwon, yang diadakan oleh para nelayan di Pantai Teluk Prigi.
Sembonyo adalah nama mempelai tiruan yang berupa boneka kecil, yang terbuat dari tepung beras ketan, kemudian dibentuk layaknya sepasang mempelai yang sedang bersanding, duduk di atas perahu lengkap dengan peralatan satang (alat untuk menjalankan dan mengemudikan perahu).
Penggambaran mempelai tiruan yang bersanding di atas perahu ini dilengkapi pula dengan sepasang mempelai tiruan yang terbuat dari aris, atau galih batang pisan, yang diberi hiasan bunga kenanga dan melati.
Asal usul budaya bahari ini bermula dari kisah Raden Tumenggung Yudha Negara, yang memiliki nama asli Raden Kramadipa, yang berhasil membuka kawasan Teluk Prigi, dengan jaminan bersedia menikahi Puteri Gambar Inten yang merupakan anak Adipati Andong Biru.
2. Larung Sesaji Pantai Tambakrejo (Kabupaten Blitar)
Ditetapkan sebagai WBTbI tahun 2019, budaya bahari ini berlokasi di Pantai Tambakrejo, Kecamatan Wonotirto. Konon tradisi ini berawal dari larung sesaji yang dilakukan oleh Atmaja, atau Atmo Wijoyo salah satu prajurit dari Mataram, yaitu anak buah Pangeran Diponegoro. Atmo Wijoyo kemudian melarikan diri ke Pantai Tambakrejo, dan melakukan tasyakuran yang selanjutnya dikenal sebagai Larung Sesaji.
Dalam Larung Sesaji juga terdapat penghormatan kepada Tuhan, alam dan sesama makhluk sebagai tindakan mulia bahwa dalam kehidupan ini manusia tidak sendirian, tapi ada ketergantungan pada Tuhan, alam dan sesama makhluk. Oleh karena itu, penghormatan tersebut dimanifestasikan dalam larung sesaji setiap menjelang pergantian Tahun Muharram atau tanggal 1 Suro.
Pelaksanaan tradisi ini bergantian setahun sekali antara Pantai Tambakrejo dan Pantai Serang yang terletak di Desa Serang, Kecamatan Panggungrejo.
3. Perahu Tradisional Ijon-ijon (Kabupaten Lamongan)
Terdapat kisah di balik tradisi yang ditetapkan sebagai WBTbI pada tahun 2022 ini, yaitu seseorang yang bernama Surosiro, yang berasal dari Madura, yang pada tahun 1890 melakukan migrasi dengan menaiki perahu, dengan menggunakan layar bagor atau goni, dan kemudian berlabuh di wilayah Pantura yang sekaligus memperkenalkan ekspedisi laut kepada masyarakat Pantura.
Berdasarkan kisah tersebut, diyakini bahwa seluruh konstruksi perahu itu oleh nenek moyang mereka telah dibakukan dan dijadikan pola dasar dari perahu, satu di antaranya dikenal dengan nama Den Jon atau Ijon-ijon atau Jonjong Perahu Ijon-ijon yang oleh masyarakat setempat dikonotasikan sebagai perahu wedok (perempuan) dengan ciri inggitumpul atau papak dan berbadan gemuk.
Terdapat pula simbol topeng, mata, alis, sanggul, mahkota (rambut) dan bunga. Adapun fungsinya untuk menangkap, menyimpan, menampung, mengangkut serta mendinginkan atau mengawetkan ikan.