Bagi sebagian orang, ikut race seperti BTN Jakarta International Marathon (Jakim) 2025 adalah soal mengejar personal best, atau dikenal waktu tercepat atau rekor pribadi. Tapi bagi saya, yang terpenting hanyalah sampai di garis finish. Utuh, selamat, dan bahagia.
Tahun ini saya mengikuti kategori 10K, danjujur saja, persiapan saya sangat minim. Satu minggu sebelum race saja, saya tak sempat latihan sama sekali. Sementara teman-teman saya setidaknya masih menyempatkan diri latihan di Gelora Bung Karno.
Saya? Pulang kerja saja sudah merasa seluruh tenaga terkuras, kecuali satu bagian tubuh: jari tangan yang masih aktif membalas pesan klien dan rekan kerja. Menjadi ibu rumah tangga sambil bekerja penuh waktu bukan perkara mudah. Ada saja yang harus dikerjakan. Latihan lari, meski niatnya selalu ada, akhirnya kalah oleh tumpukan tanggung jawab.
Sehari sebelum race, saya bahkan masih harus ke Kota Bogor. Hari itu jalanan sangat macet dan membuat saya benar-benar kelelahan. Saking lelahnya, saya sempat berpikir, "Kalau besok bangun kesiangan, ya mungkin memang belum jodoh sama BTN Jakim." Meski begitu, saya tetap pasang alarm, setiap sepuluh menit.
Dan ajaibnya, saya bangun juga. Bukan karena alarm, tapi karena adzan subuh. Masih dalam keadaan setengah sadar, saya sempat ingin lanjut tidur. Tapi suami nyeletuk, “Emang yakin nggak mau update medali hari ini?”
Kalimat itu seperti tombol on. Saya langsung bangkit dan mulai bersiap dengan energi sisa-sisa.
Suami yang kemudian mengantar saya ke lokasi race di Monas. Sepanjang jalan, saya hanya diam, karena masih mengantuk, lelah, dan sedikit belum yakin. Tapi sebelum saya turun dari motor, suami menoleh dan bilang pelan, “Kalau nggak kuat, jangan dipaksain ya, Beb.”
Kalimat sederhana, tapi hangatnya sampai ke hati. Ada dukungan di balik kekhawatiran dan cinta di balik restu untuk tetap melangkah. Cie.
Saya tiba di Monas pukul 05.20 WIB dan langsung menitipkan barang. Panitia menggunakan layanan Lalamove, sangat praktis dan bisa diambil kembali di garis finish di GBK.
Suasana di lokasi race begitu semarak. Ada 31.000 pelari berkumpul, memadati jantung kota Jakarta di pagi hari yang masih sejuk. Mulai dari atlet profesional, pelari hobi, sampai yang baru pertama kali ikut race, menujukkan wajah-wajah penuh antusias.
Di beberapa titik, ada warga yang memberi semangat, anak-anak yang melambaikan tangan, serta relawan yang sigap menyediakan air minum dan bantuan medis.
Saya tidak mencetak rekor. Tapi saya sampai di garis akhir. Dengan senyum dan tentu saja dengan napas tersengal, ada rasa syukur luar biasa bisa sampai di garis akhir.
Bagi saya, kemenangan bukan tentang catatan waktu, melainkan keberanian untuk tetap melangkah. Ini bukan cuma soal lomba, tapi tentang merayakan semangat kota, semangat hidup sehat, dan semangat untuk terus bergerak.